BAB I
Pendahuluan
Syok hipovolemik
merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan
cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume
sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat.
Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat
(syok hemoragik). Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus
dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling
sering pada syok hemoragik.
Syok hemoragik
juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan
dalam rongga dada dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam
yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta
abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan
yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat
kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang
luas. Pembahasan utama dari artikel ini adalah syok hipovolemik akibat
kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Syok adalah suatu sindrom
klinis yang terbentuk atau dihasilkan dari kondisi perfusi jaringan yang tidak
adekuat. Penyebabnya terkadang tidak saling berhubungan langsung, misalnya
hipoperfusi menginduksi ketidakseimbangan antara jumlah pengiriman dan
kebutuhan oksigen atau substrat yang dibutuhkan yang akan menyebabkan disfungsi
selular. Kelemahan tingkat seluler ini akhirnya menginduksi produksi dan
pelepasan mediator inflamasi yang kemudian akan mempengaruhi perfusi dengan
cara lain seperti merubah fungsi dan struktur di tingkat mikrovaskular. Hal ini
akan menghasilkan suatu lingkaran setan pada proses perfusi yang akan berdampak
pada abnormalitas distribusi aliran darah, lebih lanjut dapat menyebabkan
kegagalan multi organ, dan apabila proses ini tidak diintervensi akan
menyebabkan kematian. Manifestasi klinis dari shock ini adalah suatu hasil, atau
suatu bagian, dari respon neuroendokrin autonom terhadap hipoperfusi seiring
dengan kegagalan fungsi organ yang
diinduksi oleh disfungsi selular tadi.
Syok adalah suatu sindrom akut yang timbul karena disfungsi
kardiovaskular dan ketidakmampuan sistem sirkulasi memberi O2 dan
nutrien untuk memenuhi kebutuhan metabolisme organ vital. Syok menyebabkan
perfusi jaringan tidak adekuat / hipoksia selular, metabolisme selular
abnormal, dan kerusakan homeostatis mikrosirkulasi
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti
berikut:
·
Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg
atau TAR (tekanan arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30%
lebih.
·
Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
·
Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit
dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang jelek.
Syok dapat
diklasifikasikan sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, distributif dan syok
obtruktif. Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok
distributif terjadi ketika volume darah
secara abnormal berpindah tempat dalam vaskular seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh
darah perifer. Syok Obtruktif Ketidakmampuan
ventrikel untuk mengisi selama diastol sehingga secara nyata menurunkan volume
sekuncup dan rendahnya curah
jantung
Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan
oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada: 2
·
Kehilangan darah atau syok hemoragik karena
perdarahan yang mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan
kehamilan ektopik terganggu.
·
Trauma yang berakibat fraktur tulang besar,
dapat menyebabkan kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus
menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml
perdarahan.
·
Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat
terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya
pada:
o
Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan
gastroenteritis.
o
Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
o
Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya
aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam
jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan
metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah
dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton. Yang penting
dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang
disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi
jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis
merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.3
2.2 Patofisiologi
Syok hipovolemik disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan
menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga
dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain.
Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume
intraventrikel kiri pada akhir sistol yang akibatnya juga menyebabkan
menurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini juga menyebabkan
terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh darah dimana terjadi vasokontriksi
oleh katekolamin sehingga perfusi makin memburuk. Pada luka bakar yang luas,
terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam
lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan
intravaskuler. Pada ileus obstruksi dapat terkumpul beberapa liter cairan di
dalam usus. Pada dibetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi
kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat
ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons
tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama
perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha
untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan
mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi
perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron,
sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam
pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi
hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.
Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah
menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume
intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi
defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil
dan produksi urin yang kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini
hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran,
dsb) dan cairan garam seimbang.
2.3 Manifestasi Klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi
premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung.
Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi.
Pasien muda dapat dengan mudah mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah
sedang dengan vasokonstriksi dan takikardia. Kehilangan volume yang cukup besar
dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih dapat
ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.
·
Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik,
riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab yang mungkin dan untuk
penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar biasanya
nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak nyata, seperti
pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan status mental.
·
Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur,
dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua pasien.
·
Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan
beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu
(misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada
pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor).
·
Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri.
·
Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat
sebaiknya dicatat.
·
Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan
gangguan pada pembuluh darah.
·
Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri
yang menjalar ke punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan
nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri panggul.
·
Pada pasien dengan
perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang hematemesis, melena,
riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama,
dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting. Kronologi muntah dan hematemesis harus
ditentukan. Pada pasien dengan hematemesis
setelah episode berulang muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom
Boerhaave atau Mallory-Weiss tear, sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis
sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik atau varises esophagus.
·
Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu
dikumpukan informasi mengenai hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor
risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam (termasuk jumlah dan
durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita usia
subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil.
Tes kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.
Pemeriksaan
fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem
sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.
Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat.
Mekanisme
kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga
pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan,
dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta
bloker mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi
perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang.
Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering
tidak nyata. Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada
respon terapi dibandingkan klasifikasi awal
a.
Perdarahan
derajat I (kehilangan darah 0-15%)
·
Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
·
Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan
nadi, dan frekuensi pernapasan.
·
Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai
untuk kehilangan darah sekitar 10%
b.
Perdarahan
derajat II (kehilangan darah 15-30%)
·
Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali
permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan
pengisian kapiler, dan anxietas ringan .
·
Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar
katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan
selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.
c.
Perdarahan
derajat III (kehilangan darah 30-40%)
- Pasien biasanya
mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,
oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti
kebingungan atau agitasi.
- Pada pasien tanpa
cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah kehilangan
darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
- Sebagian besar
pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk pemberian
darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
d.
Perdarahan
derajat IV (kehilangan darah >40%)
- Gejala-gejalanya
berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi menyempit
(atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine
yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit
dingin dan pucat.
- Jumlah perdarahan
ini akan mengancam kehidupan secara cepat.
Stadium Syok Hipovolemik
a.
Syok Reversibel dini dan
kompensasi
·
Mean arterial pressure turun 10 – 15 mmHg
·
Berkurangnya
volume darah sirkulasi (25 – 35%) 1000 ml
·
Sistem
saraf pusat terangsang; keluarnya katekolamin
·
Untuk
menjaga tekanan darah : terjadi peningkatan denyut jantung dan
kontraktilitasnya; meningkatnya vasokontriksi perifer
·
Sirkulasi
terjaga, tetapi hanya bisa dipertahankan dalam waktu singkat tanpa membahayakan
jaringan
·
Penyebab
yang mendasari syok harus diketahui dan dikoreksi atau akan berlanjut ke
stadium berikutnya
b. Syok intermediat atau progresif
- MAP selanjutnya turun (20%)
- Bertambahnya kehilangan cairan tubuh
(1800 – 2500 ml)
- Vasokontriksi berlanjut dan
menimbulkan defisiensi oksigen
- Tubuh akan menjalani metabolisme
anaerob yang membentuk asam laktat sebagai produk buangan.
- Tubuh meningkatkan denyut jantung dan
vasokontriksi
- Jantung dan otak menjadi hipoksia
- Efek yang lebih berat terhadap jaringan lainnya yang menjadi :
iskemia dan anoksia
- Status asidosis dengan hiperkalemia
terjadi
- Memerlukan penanganan yang cepat
c.
Syok refrakter atau ireversibel
- Jaringan anoksia, kematian sel tersebar luas
- Bahkan dengan pengembalian tekanan
darah dan volume cairan, terdapat sangat banyak kerusakan untuk
mengembalikan hemostasis jaringan.
- Kematian seluler menimbulkan kematian
jaringan, kegagalan organ vital dan kematian terjadi
2.4 Pemeriksaan Laboratorium-Hematologi
Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar
hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh
ditunda menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik
mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada penyebab syok.
Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah
diberikan, nilai hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena kehilangan
volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah merah seperti pada emesis, diare,
luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan intravaskuler menjadi pekat
(konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai hematokrit menjadi
tinggi.
2.5 Diagnosis Diferensial
Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada
hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma
cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena
penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien yang
dirawat di Unit Gawat Darurat.
Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oligurik,
dan takikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya mendapat
insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan. Untuk membuktikan
hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium (gula darah
sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa 50% intravena atau 40 ml larutan
dextrose 40% intravena.
2.6Penatalaksanaan
a.
Penanganan
Sebelum di Rumah Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat
kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit
sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit
sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber
perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih
lanjut.
Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma.
Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika
mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir
kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.
Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi
segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum
di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu
dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa
keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien
trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan
memaksimalkan sirkulasi.
Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat
mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk
status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan
ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan
transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi
ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan
yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian
cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus
intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan
ke tempat pelayanan kesehatan.
b. Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan
syok hipovolemik antara lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi
dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan
memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3)
resusitasi cairan.
1.
Memaksimalkan penghantaran oksigen
·
Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera
dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara
napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti
pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus
segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator
harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan
dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya
dihindari.
·
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter
besar. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena saphena,
atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger.
Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus
berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur
intraosseus.
·
Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan
pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan
memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
·
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan
untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline
Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak),
dan respon pasien dinilai.
·
Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien
diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika
tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan
darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada,
infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah diberikan.
·
Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok
derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah. Pedoman pemberian
kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan
kondisi pasien.
·
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki
sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan
diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien
yang sedang hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan
janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi
Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena
dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki
keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.
·
Autotransfusi mungkin dilakukan pada beberapa
pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi,
filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma, darah yang
berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.
2.
Kontrol perdarahan lanjut
·
Kontrol
perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber
perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah.
Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan
darah.
·
Pada
pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya,
dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta
diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat
paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.
·
Pada
pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker
telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti
hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena
itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif
aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan.
·
Pada dasarnya
penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik,
plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan
intervensi bedah.
·
Konsultasi
segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan
adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab
perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu
untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
3.
Apakah kristaloid
dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah
dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada
resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat,
saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma,
hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.
·
Pendukung
resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan
menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah
pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang interstitial dan
ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg
tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)
·
Pendapat
lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume
intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun,
mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan
kristaloid.
·
Larutan
koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein
murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan
volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka
kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel.
Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan
pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama
perawatan, atau kelangsungan hidup.
·
Kombinasi
salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena
fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan
sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan
perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida
isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi
yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau
Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid
untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.
·
Rekomendasi
terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat
atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok
tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.
c. Obat-obatan
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi.
Obat Anti Sekretorik
Obat Anti Sekretorik
Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat
mengurangi aliran darah ke sistem porta.
1.
Somatostatin (Zecnil)
Secara
alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel
epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi.
Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan
vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh
1-3 menit.
Dosis
dewasa bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus
selanjutnya maintenance 2-5 hari jika berhasil. Pada anak-anak tidak dianjurkan.
Interaksi dengan Epinefrin, demeclocycline, dan
tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini. Kontraindikasi pemberian
obat ini adalah orang yang Hipersensitif terhadap somatostatin
Pada
Kehamilan Resiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak
diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada
resiko terhadap janin. Pemberian obat ini dapat menyebabkan eksaserbasi atau
penyakit kandung kemih mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat
menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.
2.
Ocreotide (Sandostatin)
Oktapeptida
sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama
dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan
penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum,
usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas.
Dosis
dewasa 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu
dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg penanganan hingga 5 hari. Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau
D5W.
Kontraindikasinya hipersensitivitas. Resiko
terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada
beberapa penelitian pada binatang.
Efek
samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal,
termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu
kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin,
glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi,
kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena
penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien
dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.
d. Terapi
Cairan
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan
manajemen dapat berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka
input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk
air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan keseimbangan
cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan
menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena
perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan
umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan
elektrolit, plasma, atau darah.
Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah
mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline
atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Perdarahan berat
adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin rendah maka
cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk
terapi syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera
diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan
dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan
cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan,
kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis,
gastroenteritis yang lama atau emesis, dan pankreatitis akuta.
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status
hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada.
Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis
berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu
aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi
dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat
tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang
adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18--24 jam
sesudah cedera luka bakar. 4
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi
berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk
terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah
tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit
efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan
edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. 4
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal
syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.
Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan
ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien
dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan
sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan
sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer
Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada
ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh
dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan
resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat
seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer
Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi
bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi
atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk
mengganti kebutuhan harian.
Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10
g/dl adalah bila pasien akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak
kehilangan darah serta adanya gejala dan
tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh
anemia.
Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah
total harus diatasi dengan penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih
penting daripada menaikkan kadar Hb. Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma (plasma expander) dapat
mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan transfusi,
terutama bila perdarahan dapat diatasi.
Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb
bukan satu-satunya pertimbangan dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah
merah. Setelah pasien mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb
atau hematokrit dapat digunakan sebagai indikator apakah transfusi sel darah
merah dibutuhkan atau tidak.
Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan
transportasi oksigen, terutama bila volume darah yang hilang >25% dan
perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan volume darah >40% dapat
menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari transfusi darah menggunakan darah
simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping akibat
penyimpanan.2 Darah yang
disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi, pH rendah, debris
sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-diphosphoglycerate rendah.
Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel
darah merah:2
·
Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target
Hb yang disesuaikan dengan penilaian kasus per kasus.
·
Menilai hasil/efek transfusi yang sudah
diberikan kemudian menentukan kebutuhan selanjutnya.
Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai
masalah yang menyebabkan 1) peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan
katekolamin, kondisi yang tidak stabil,
nyeri; 2) penurunan penyediaan oksigen, seperti hipovolemia dan hipoksia. Tanda
dan gejala klasik anemia berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat,
takikardia, penurunan kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda
dan gejala anemia serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan
alasan transfusi yang lebih rasional.
BAB III
KESIMPULAN
n
Syok Hipovolemik terjadi akibat terganggunya
sistem sirkulasi
n
Bisa terjadi akibat perdarahan, Kehilangan
Plasma dan kehilangan cairan ekstrasel
n
Penatalaksanaan utama adalah segera mungkin
resusitasi cairan
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo,
W Aru,dkk. Syok Hipovolemik .Dalam :
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid 1. Pusat Penerbitan FKUI. Jakarta. 2006.
Hal:183-184
2. Kolecki
P. Hypovolemic Shock. http://emedicine.medscape.com/article/760145,
11 Maret 2010
3. Guyton,C Arthur ,Hall, E John. Syok sirkulasi
dan Fisiologi Pengobatannya. Dalam ; Fisiologi Kedokteran ,textbook of
medical physiology. Edisi 11. EGC. Jakarta. 2006. Hal:359-371
4.
Price, A
Sylvia, Wilson, M Lorraine. Gangguan
Volume,Osmolalitas, dan Elektrolit Cairan.Dalam : Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 6 Vol.1.EGC.Jakarta.2006.Hal:328-373
5.
Sjamsuhidajat,
R, Jong de Wim. Syok.Dalam: Buku Ajar
Ilmu Bedah.Edisi 2.EGC.Jakarta.2005.118-124
6.
Anonimous.Syok Hipovolemik.Diambil
dari http : // asramamedicafkunhas. blogspot. com/ 2009/06/syok-hipovolemik.html.
Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar